Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلَامٍ قَالَ: لَمَّا قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ ، اِنْجَفَلَ النَّاسُ إِلَيْهِ ، وَقِيْلَ : قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَجِئْتُ فِي النَّاسِ لِأَنْظُرَ إِلَيْهِ ، فَلَمَّا اسْتَبَنْتُ وَجْهَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهٍ كَذَّابٍ ، فَكَانَ أَوَّلَ شَيْءٍ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَالَ: (( يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، أَفْشُوْا السَّلَامَ ، وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ ، وَصِلُوْا الْأَرْحَامَ ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ )).
Dari ‘Abdullah bin Salâm, ia berkata: “Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, orang-orang segera pergi menuju beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena ingin melihatnya). Ada yang mengatakan: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang, lalu aku mendatanginya ditengah kerumunan banyak orang untuk melihatnya. Ketika aku melihat wajah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , aku mengetahui bahwa wajahnya bukanlah wajah pembohong. Dan yang pertama kali beliau ucapkan adalah, 'Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikan makan, sambunglah silaturrahim, shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan selamat.”
A. TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2485); ad-Dârimi (I/340); Ibnu Mâjah (no. 1334 dan 3251); al-Hâkim (III/13), Ahmad (V/451); Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (VIII/388, no. 25777 dan 26133) dan (XIII/30, no. 36858); ad-Dhiyâ’ dalam al-Mukhtârah (IX/431, no. 400); Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab (no. 495), dan lain-lain.
at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.”; al-Hâkim berkata, “Shahih sesuai dengan syarat syaikhain (al-Bukhâri dan Muslim).” Dan adz-Dzahabi menyepakatinya. Diriwayatkan juga oleh al-Hâkim (IV/160) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
Imam Nawawi rahimahullah menyetujuinya dalam Riyâdhus Shâlihîn (no. 849). Demikian juga al-Hâfizh Ibnu Hajar menyetujui pernyataan imam at-Tirmidzi dan al-Hâkim dalam kitabnya Fat-hul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri (XI/19). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdiits ash-Shahîhah (no. 569).
B. MUFRADAT HADITS
اِنْجَفَلَ النَّاسُ : Mereka pergi segera menuju kepadanya.
أَفْشُوْا السَّلَامَ : Kata perintah dari al-ifsyâ’, berarti menyebarkan dan menjadikannya umum atau merata.
صِلُوْا الْأَرْحَامَ : Kata perintah dari al-washl, yaitu menyambung dengan terus menerus berbuat baik kepada mereka dengan perkataan, perbuatan, dan lemah lembut. al-Arhâm yaitu semua kerabat dari segi nasab maupun pernikahan (ipar, menantu, mertua).
نِيَامٌ : Jamak dari nâ-im (orang yang tidur).
تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ : Kalian masuk Surga dengan sejahtera yaitu tanpa didahului adzab sebelumnya.[1]
C. SYARAH HADITS
1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,( أَفْشُوْا السَّلَامَ) “Sebarkanlah salam.”
Sebarkanlah salam di antara kalian ! Jika engkau melewati saudaramu, ucapkanlah salam kepadanya ! Dan jika dia yang memulai salam kepadamu, maka jawablah salamnya, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya…” [an-Nisâ’/4:86]
Menyebarkan salam itu akan menumbuhkan rasa cinta diantara manusia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا ، وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
Tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkanlah salam di antara kalian[2].
Karena menyebarkan salam itu menimbulkan rasa cinta, maka sebaliknya meninggalkan salam akan menyebabkan kesedihan. Ini sesuatu yang lumrah pada diri manusia. Jika ada orang yang lewat dan mengucapkan salam kepadamu maka engkau akan merasa senang dan cinta. Namun, jika yang lewat itu tanpa mengucapkan salam, maka engkau akan merasa ragu terhadapnya. Fakta ini menunjukkan bahwa salam memiliki urgensi yang tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Ada seorang yang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Islam yang bagaimanakah yang paling baik ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ.
Engkau memberi makan dan engkau mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun yang tidak kenal.”[3]
Salam juga merupakan hak seorang muslim atas muslim lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Makna Menyebarkan Salam
Menyebarkan salam maksudnya selalu mengucapkannya setiap kali bertemu atau berjumpa meskipun sudah mengucapkan salam saat perjumpaan sebelumnya. Seorang Muslim yang tidak mau mengucapkan salam setiap kali bertemu dianggap bakhil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ عَجِزَ فِيْ الدُّعَاءِ وَأَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلاَمِ.
Selemah-lemah manusia adalah orang yang lemah (malas) berdo'a kepada Allâh, dan sebakhil-bakhil manusia adalah orang yang bakhil mengucapkan salam[4].
Zaman sekarang ini ummat Islam sudah mulai jarang mengucapkan salam. Sebagian mereka beranggapan bahwa tadi sudah berjumpa dan sudah mengucapkan salam, maka apabila berjumpa lagi dalam waktu 20 menit atau 30 menit tidak perlu lagi mengucapkan salam. Padahal, teladan (contoh) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tidak demikian. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat g apabila berjumpa, mereka saling mengucapkan salam, meskipun sudah mengucapkannya pada pertemuan sebelumnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا لَقِيَ أَحَدُكَمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ ، فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ لَقِيَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ أَيْضًا
Apabila salah seorang dari kalian berjumpa dengan saudaranya sesama Muslim, hendaklah ia mengucapkan salam kepadanya ! Kemudian apabila keduanya terhalang pohon atau tembok atau batu lantas berjumpa lagi, maka hendaklah ia mengucapkan salam lagi[5].
Hadits ini dengan sangat gamblang menganjurkan salam kendati pun ia sudah mengucapkannya pada pertemuan sebelumnya. Hadits ini tidak membatasi hanya sekali salam, justru hadits ini menganjurkan agar setiap Muslim mengucapkan salam berkali-kali, karena ini merupakan kebaikan. Itulah yang dimaksud dengan ifsyâ-us salâm (menyebarkan salam).
Praktek menyebarkan salam seperti ini juga telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan :
كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتُفَرِّقُ بَيْنَنَا الشَّجَرَةُ فَإِذَا الْتَقَيْنَا سَلَّمَ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ
Kami (para shahabat) apabila berjalan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kami terhalang oleh pohon lantas kami bertemu lagi, maka sebagian dari kami mengucapkan salam kepada sebagian lainnya.[6]
Hadits lain yang menjadi penguat hadits di atas adalah hadits yang sudah mayhur tentang seorang shahabat yang tidak thuma’ninah dalam shalatnya. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki masjid kemudian masuklah seorang laki-laki lantas mengerjakan shalat. Seusai shalat, ia mengucapkan salam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau pun menjawab salamnya, lalu bersabda, ‘Ulangi shalatmu! Karena sesungguhnya engkau belum shalat.’ Kemudian ia pun mengulangi shalatnya seperti sebelumnya. Seusai shalat, ia pun kembali mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam kepada beliau… (hal ini dilakukannya hingga tiga kali).”[7]
Apabila umat Islam ini memahami dan menyadari betapa pentingnya ifsyâ-us salâm (menyebarkan salam), insya Allâh akan terwujud rasa saling menyayangi dan mencintai sesama kaum Muslimin.
Salam merupakan cara untuk memulihkan hubungan yang tidak baik sesama Muslim. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ. يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ لَيَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
Tidak halal seorang Muslim tidak bertegur sapa dengan saudaranya selama tiga malam, keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu pun berpaling. Akan tetapi orang yang terbaik dari keduanya adalah yang terlebih dahulu mengucapkan salam.[8]
Di atas sudah diterangkan bahwa mengucapkan salam yang diperintahkan tidak hanya terbatas satu kali, akan tetapi berkali-kali setiap kali bertemu.
Misalnya.
Pertama : Seorang karyawan Muslim bertemu dengan karyawan lainnya yang Muslim, maka hendaklah ia mengucapkan salam, ketika masuk maupun keluar kantor.
Kedua : Seorang ustadz bertemu dengan ustadz lainnya dalam satu sekolah atau dalam lembaga-lembaga dakwah, hendaklah selalu mengucapkan salam, meskipun beberapa kali bertemu.
Ketiga : Seorang ustadz atau guru hendaklah mengucapkan salam ketika masuk ke kelas, dan ketika keluar pun hendaklah ia mengucapkan salam.
Keempat, seseorang sampai dalam satu majlis hendaklah mengucapkan salam, dan ketika telah usai atau ia meninggalkannya hendaklah ia pun mengucapkan salam.[9]
Kelima : Seseorang yang masuk ke masjid atau mushalla atau surau hendaklah mengucapkan salam meskipun di dalamnya ada orang yang sedang shalat, atau ada yang sedang membaca al-Qur-an, atau ada yang sedang berdzikir. Sebab, para shahabat juga mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ketika itu beliau sedang shalat. Lantas, beliau pun menjawabnya dengan isyarat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata-kata karena dalam shalat dilarang berkata-kata selain dzikir, tasbîh, dan membaca ayat al-Qur'ân.[10]
Tentang penyebutan isyarat dalam hadits tersebut, hal itu dilakukan dalam shalat. Adapun di luar shalat, isyarat tersebut tidak diperbolehkan karena menyerupai perbuatan Yahudi, kecuali, apabila diiringi dengan salam.
Keenam : Seorang anak, ibu, atau bapak yang hendak masuk rumah hendaklah mengucapkan salam, demikian pula ketika keluar rumah.
Ketujuh : Seorang pedagang hendaklah mengucapkan salam kepada pedagang Muslim lainnya, atau seorang pembeli hendaklah mengucapkan salam kepada pedagang-pedagang Muslim lainnya yang ada di pasar. Hal ini sebagaimana riwayat dari shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
Dari Thufail bin Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, suatu ketika ia mendatangi ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, kemudian ia berjalan bersamanya ke pasar. Thufail berkata, “Setiap kali ia bertemu dengan tukang loak (pedagang barang bekas), pedagang, orang miskin, atau siapa saja, ia selalu mengucapkan salam.” Thufail melanjutkan, “Suatu hari aku datang lagi ke rumah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, lalu ia ingin ikut menemaniku ke pasar. Aku pun bertanya, ’Apa yang engkau kerjakan di pasar sedangkan engkau tidak berjual beli, tidak menanyakan harga barang-barang, dan tidak pula mau duduk-duduk di pasar.’ Aku melanjutkan, ‘Sebaiknya kita duduk-duduk saja disini sambil bercakap-cakap.’ Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma langsung menjawab, ‘Wahai Abu Bathn[11] , sesungguhnya kita pergi ke pasar semata-mata hanya ingin mengucapkan salam saja, yaitu kita ucapkan salam kepada kaum Muslimin mana saja yang kita jumpai.’”[12]
Ucapan salam adalah kalimat yang disenangi oleh Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Apabila kalimat salam diucapkan oleh kaum Muslimin setiap saat, setiap waktu, setiap hari, maka insya Allâh ummat Islam ini akan selamat dari penyakit-penyakit hati dan ummat Islam akan mempunyai ‘izzah (harga diri) di hadapan ummat-ummat yang lain. Oleh karena itu, kita harus berupaya menyebarkan salam dan menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini agar kita selamat dan mempunyai ‘izzah di hadapan orang-orang kafir.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Sebarkanlah salam, niscaya kalian akan selamat [13]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
أَفْشُوْا السَّلاَمَ كَيْ تَعْلُوْا
Sebarkanlah salam agar kalian menjadi tinggi (mempunyai ‘izzah)[14]
2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ) “Berikanlah makan.”
Yaitu berikanlah makan kepada orang-orang yang membutuhkan, kepada tamu dan tetangga. Ini merupakan akhlak mulia yang bisa menghantarkan pelakunya masuk surga. Orang yang memberikan makan kepada orang lain akan memiliki keistimewaan dan kedudukan di masyarakat. Orang yang memberikan maka akan mendapat rizki yang berlimpah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya Azza wa Jalla disebutkan :
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ ...
Sedekah tidak mengurangi harta…[15]
أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ
Berinfaqlah ! Niscaya Aku akan berinfaq kepadamu.”[16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma,
اِنْفَحِيْ ، أَوِ انْضَحِيْ ، أَوْ أَنْفِقِيْ ، وَلاَ تُحْصِيْ فَيُحْصِيَ اللهُ عَلَيْكِ ، وَلَا تُوْعِيْ فَيُوْعِيَ اللهُ عَلَيْكِ.
Infakkan, atau sedekahkan, atau nafkahkanlah, dan janganlah kamu menghitung-hitungnya sehingga Allâh akan menghitung-hitung pemberian-Nya kepadamu. Dan Janganlah kamu menakar-nakarnya sehingga Allâh menakar-nakar pemberian-Nya kepadamu.[17]
Orang yang memberi makan atau berinfak pasti akan diganti oleh Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ
…Dan apa saja yang kamu infakkan, Allâh akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.[Saba’/34: 39]
Adapun jika engkau menahan rizki yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadamu, maka Allâh Azza wa Jalla juga akan menahan rizki-Nya kepadamu. Memberi makan memiliki keistimewaan yang agung, khususnya orang-orang yang memberi makan kepada para tamu dan orang yang membutuhkan. Mereka memiliki keutamaan yang besar, terlebih lagi orang yang tinggal di tempat umum (lalu mereka suka memberi makan). Namun yang perlu diingat, memberi makan dan berinfak serta ibadah-ibadah lainnya wajib dilakukan dengan ikhlas karena Allâh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allâh , kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. [al-Insân/76:8-9]
3. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,) (وَصِلُوْا الْأَرْحَامَ “Sambunglah tali silaturrahim.”
al-Arhâm adalah jamak dari rahim. Maksudnya kerabat yang memiliki hubungan kekeluargaan dari ibu atau bapak, seperti paman, bibi, kakek, nenek, sepupu, dan lainnya. Mereka adalah al-arhâm. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
…Bertakwalah kepada Allâh yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan… [an-Nisâ’/4:1]
Maksudnya bertakwalah kepada Allâh Azza wa Jalla dan bertakwalah dalam urusan kekeluargaan agar engkau tidak memutusnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat… [al-Isrâ’/17:26]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ
“Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat…” [an-Nisâ’/4:36]
Banyak ayat yang memerintahkan untuk menyambung tali silaturrahim dan ancaman bagi yang memutus tali silaturrahim. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ ﴿٢٢﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allâh ; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.” [Muhammad/47: 22-23]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“…Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allâh agar disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi; mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” [ar-Ra’d/13:25]
Silaturrahim itu memiliki keistimewaan yang agung, merupakan sebab masuk Surga. Dan memutus silaturrahim menyebabkan laknat dan terjauhkan dari rahmat Allâh Azza wa Jalla .
4. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ) “Shalatlah di waktu malam, di saat manusia sedang tidur.”
Ini mencakup shalat-shalat wajib, seperti shalat ‘Isya dan shalat Shubuh, juga mencakup shalat malam, karena malam adalah waktunya orang-orang tidur. Jika seseorang bangun dan shalat maka ini menunjukkan keimanannya karena dia lebih memilih shalat dari pada tidur dan istirahat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya…” [as-Sajdah/32:16]
Seorang Muslim yang beriman kepada Allâh dan hari Akhir, dia berusaha untuk mengerjakan shalat wajib yang lima waktu berjamaah di Masjid. Dia juga berusaha untuk bangun di tengah malam untuk melakukan shalat Tahajjud di saat manusia sedang tidur. Di tengah malam dan di akhir malam dia gunakan untuk bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla , shalat malam, berdo’a dan minta ampun kepada Allâh Azza wa Jalla atas semua dosa-dosanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan Tahajjud sampai kakinya bengkak, ketika beliau ditanya bukankah engkau sudah diampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidaklah pantas aku menjadi hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang bersyukur ?” Shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shalih, menghapuskan dosa-dosa dan merupakan kemuliaan bagi seorang Muslim. Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat merutinkan shalat malam meskipun sedikit.
Barangsiapa mengerjakan keempat amalan ini, yakni menyebarkan salam, memberi makan, menyambung tali silaturrahim, dan shalat malam ketika manusia tertidur, akan masuk surga dengan sejahtera, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman. [al-Hijr/15:46]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ ۖ ذَٰلِكَ يَوْمُ الْخُلُودِ
Masuklah ke (dalam surga) dengan aman dan damai, itulah hari yang abadi. [Qâf/50: 34]
Itu adalah balasan mereka, pahala atau ganjaran yang sesuai dengan jenis amalan yang dikerjakan. Masuk surga merupakan cita-cita tujuan terbesar seorang Mukmin. Masuk surga itu mudah bagi siapa yang Allâh mudahkan. Semua yang ada dalam surga berupa kebaikan, kenikmatan, kelezatan dan kebahagiaan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allâh Azza wa Jalla . Amal-amal untuk masuk surga semuanya mudah dan tidak sulit. Ada seseorang berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan kepadaku amalan yang bisa memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau telah bertanya sesuatu yang besar, tapi itu mudah bagi siapa yang Allâh mudahkan, yaitu beribadahlah kepada Allâh dan jangan menyekutukannya dengan suatu apa pun…”[18]
Ini adalah hadits yang agung, karena keempatnya termasuk akhlak yang mulia. Menyebarkan salam, memberi makan, dan menyambung tali silaturrahim manfaatnya untuk orang lain, sedangkan shalat malam di saat yang lain tertidur manfaatnya untuk orang yang melakukan amalan tersebut.
D. FAWAID HADITS
1. Sangat dianjurkan menyebarkan salam kepada seluruh kaum Muslimin, yang dikenal maupun yang tidak.
2. Salam merupakan syi’ar agama Islam dan merupakan salah satu keindahan syari’at Islam.
3. Haram hukumnya mengganti ucapan salam dengan kalimat-kalimat lain.
4. Orang yang lebih dahulu mengucapkan salam adalah orang yang dicintai Allâh Azza wa Jalla .
5. Mengucapkan salam hukumnya sunnah yang sangat ditekankan, sedangkan hukumnya menjawab salam wajib
6. Haram hukumnya memberi salam kepada Yahudi, Nashrani, dan orang-orang kafir lainnya.
7. Anjuran memberi makan kepaa orang miskin, orang yang susah, dan orang yang membutuhkan.
8. Orang yang memberi makan mendapat ganjaran yang besar.
9. Orang yang berinfaq dan memberi makan maka tidak berkurang hartanya.
10. Wajib menyambung silaturrahim dan haram memutuskannya
11. Silaturrahim melapangkan rezeki dan memanjangkan umur
12. Sangat ditekankan (sunnah muakkadah) bangun tengah malam untuk shalat Tahajjud saat orang sedang tidur.
13. Shalat malam (Tahajjud) kebiasaan orang-orang shalih.
14. Shalat malam memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan seorang Muslim.
15. Shalat malam membuat seorang Muslim mulia.
16. Amal yang disebutkan dalam hadits di atas bila dikerjakan dengan ikhlas dan ittibâ’ akan memasukkan seorang Muslim ke dalam surga.
17. Seluruh amal-amal ketaatan dalam Islam adalah mudah bagi orang yang diberikan hidayah taufiq oleh Allâh Azza wa Jalla .
MARAAJI.
1. Kutubus Sittah dan Musnad Imam Ahmad.
2. Riyâdush Shâlihîn dan syarahnya.
3. Bulûghul Marâm min Adillatil Ahkâm.
4. Taudhîhul Ahkâm Syarah Bulûghul Marâm.
5. Tashîlul Ilmân bi fiqhil Ahâdiits min Bulûghil Marâm, syarah: Syaikh DR. Shaleh Fauzan bin ‘Abdulllah al-Fauzan.
6. ar-Rasâ-il jilid 3, oleh Penulis, cet. 1, Media Tarbiyah.
7. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Taudhîhul Ahkâm (VII/503).
[2].Shahîh: HR. Muslim (no. 54) dan lainnya, dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[3]. Shahîh : HR. al-Bukhâri (no. 12) dan Muslim (no. 39), dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
[4]. Hasan: HR. at-Thabarani dalam Mu’jamul Ausath (no. 5587) dan lainnya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 601).
[5]. Shahîh : HR. Abu Dâwud (no. 5200).
[6]. Hasan: HR. at-Thabarani dalam Mu’jamul Ausath (no. 7983). Lihat Majma’uz Zawâ-id (VIII/34).
[7]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 757, 793, 6251, 6252, 6667), Muslim (no. 397), dan yang lainnya.
[8]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6077, 6273), Muslim (no. 2560), Ahmad (V/416, 421, 422), Abu Dâwud (no. 4911), dan at-Tirmidzi (no. 1932) dari shahabat Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu.
[9]. Shahîh : HR. Abu Dâwud (no. 5208), at-Tirmidzi (no. 2707), dan lainnya.
[10]. Shahîh : HR. Abu Dawud (no.927) dengan sanad jayyid (baik).
[11]. Panggilan untuk Thufail karena perutnya besar.
[12]. Shahîh : HR. Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 912), dishahihkan oleh Syu’aib al-Arna-uth. Lihat Riyâdish Shâlihîn (no. 848).
[13]. Shahîh : HR. al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad dan Ahmad. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 1098).
[14]. Shahîh : HR. ath-Thabarani. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 1099).
[15]. Shahîh : HR. Muslim (no. 2588).
[16]. Shahîh : HR. al-Bukhâri (no. 4684) dan Muslim (no. 993) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[17]. Shahîh : HR. al-Bukhâri (no. 1433) dan Muslim (no. 1029). Lafazh ini milik Muslim.
[18]. Shahîh: HR. at-Tirmidzi (no. 2616) dan Ibnu Mâjah (no. 3973) dari Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلَامٍ قَالَ: لَمَّا قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ ، اِنْجَفَلَ النَّاسُ إِلَيْهِ ، وَقِيْلَ : قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَجِئْتُ فِي النَّاسِ لِأَنْظُرَ إِلَيْهِ ، فَلَمَّا اسْتَبَنْتُ وَجْهَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهٍ كَذَّابٍ ، فَكَانَ أَوَّلَ شَيْءٍ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَالَ: (( يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، أَفْشُوْا السَّلَامَ ، وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ ، وَصِلُوْا الْأَرْحَامَ ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ )).
Dari ‘Abdullah bin Salâm, ia berkata: “Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, orang-orang segera pergi menuju beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena ingin melihatnya). Ada yang mengatakan: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang, lalu aku mendatanginya ditengah kerumunan banyak orang untuk melihatnya. Ketika aku melihat wajah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , aku mengetahui bahwa wajahnya bukanlah wajah pembohong. Dan yang pertama kali beliau ucapkan adalah, 'Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikan makan, sambunglah silaturrahim, shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan selamat.”
A. TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2485); ad-Dârimi (I/340); Ibnu Mâjah (no. 1334 dan 3251); al-Hâkim (III/13), Ahmad (V/451); Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (VIII/388, no. 25777 dan 26133) dan (XIII/30, no. 36858); ad-Dhiyâ’ dalam al-Mukhtârah (IX/431, no. 400); Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab (no. 495), dan lain-lain.
at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.”; al-Hâkim berkata, “Shahih sesuai dengan syarat syaikhain (al-Bukhâri dan Muslim).” Dan adz-Dzahabi menyepakatinya. Diriwayatkan juga oleh al-Hâkim (IV/160) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
Imam Nawawi rahimahullah menyetujuinya dalam Riyâdhus Shâlihîn (no. 849). Demikian juga al-Hâfizh Ibnu Hajar menyetujui pernyataan imam at-Tirmidzi dan al-Hâkim dalam kitabnya Fat-hul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri (XI/19). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdiits ash-Shahîhah (no. 569).
B. MUFRADAT HADITS
اِنْجَفَلَ النَّاسُ : Mereka pergi segera menuju kepadanya.
أَفْشُوْا السَّلَامَ : Kata perintah dari al-ifsyâ’, berarti menyebarkan dan menjadikannya umum atau merata.
صِلُوْا الْأَرْحَامَ : Kata perintah dari al-washl, yaitu menyambung dengan terus menerus berbuat baik kepada mereka dengan perkataan, perbuatan, dan lemah lembut. al-Arhâm yaitu semua kerabat dari segi nasab maupun pernikahan (ipar, menantu, mertua).
نِيَامٌ : Jamak dari nâ-im (orang yang tidur).
تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ : Kalian masuk Surga dengan sejahtera yaitu tanpa didahului adzab sebelumnya.[1]
C. SYARAH HADITS
1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,( أَفْشُوْا السَّلَامَ) “Sebarkanlah salam.”
Sebarkanlah salam di antara kalian ! Jika engkau melewati saudaramu, ucapkanlah salam kepadanya ! Dan jika dia yang memulai salam kepadamu, maka jawablah salamnya, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya…” [an-Nisâ’/4:86]
Menyebarkan salam itu akan menumbuhkan rasa cinta diantara manusia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا ، وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
Tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkanlah salam di antara kalian[2].
Karena menyebarkan salam itu menimbulkan rasa cinta, maka sebaliknya meninggalkan salam akan menyebabkan kesedihan. Ini sesuatu yang lumrah pada diri manusia. Jika ada orang yang lewat dan mengucapkan salam kepadamu maka engkau akan merasa senang dan cinta. Namun, jika yang lewat itu tanpa mengucapkan salam, maka engkau akan merasa ragu terhadapnya. Fakta ini menunjukkan bahwa salam memiliki urgensi yang tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Ada seorang yang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Islam yang bagaimanakah yang paling baik ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ.
Engkau memberi makan dan engkau mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun yang tidak kenal.”[3]
Salam juga merupakan hak seorang muslim atas muslim lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Makna Menyebarkan Salam
Menyebarkan salam maksudnya selalu mengucapkannya setiap kali bertemu atau berjumpa meskipun sudah mengucapkan salam saat perjumpaan sebelumnya. Seorang Muslim yang tidak mau mengucapkan salam setiap kali bertemu dianggap bakhil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ عَجِزَ فِيْ الدُّعَاءِ وَأَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلاَمِ.
Selemah-lemah manusia adalah orang yang lemah (malas) berdo'a kepada Allâh, dan sebakhil-bakhil manusia adalah orang yang bakhil mengucapkan salam[4].
Zaman sekarang ini ummat Islam sudah mulai jarang mengucapkan salam. Sebagian mereka beranggapan bahwa tadi sudah berjumpa dan sudah mengucapkan salam, maka apabila berjumpa lagi dalam waktu 20 menit atau 30 menit tidak perlu lagi mengucapkan salam. Padahal, teladan (contoh) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tidak demikian. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat g apabila berjumpa, mereka saling mengucapkan salam, meskipun sudah mengucapkannya pada pertemuan sebelumnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا لَقِيَ أَحَدُكَمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ ، فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ لَقِيَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ أَيْضًا
Apabila salah seorang dari kalian berjumpa dengan saudaranya sesama Muslim, hendaklah ia mengucapkan salam kepadanya ! Kemudian apabila keduanya terhalang pohon atau tembok atau batu lantas berjumpa lagi, maka hendaklah ia mengucapkan salam lagi[5].
Hadits ini dengan sangat gamblang menganjurkan salam kendati pun ia sudah mengucapkannya pada pertemuan sebelumnya. Hadits ini tidak membatasi hanya sekali salam, justru hadits ini menganjurkan agar setiap Muslim mengucapkan salam berkali-kali, karena ini merupakan kebaikan. Itulah yang dimaksud dengan ifsyâ-us salâm (menyebarkan salam).
Praktek menyebarkan salam seperti ini juga telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan :
كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتُفَرِّقُ بَيْنَنَا الشَّجَرَةُ فَإِذَا الْتَقَيْنَا سَلَّمَ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ
Kami (para shahabat) apabila berjalan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kami terhalang oleh pohon lantas kami bertemu lagi, maka sebagian dari kami mengucapkan salam kepada sebagian lainnya.[6]
Hadits lain yang menjadi penguat hadits di atas adalah hadits yang sudah mayhur tentang seorang shahabat yang tidak thuma’ninah dalam shalatnya. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki masjid kemudian masuklah seorang laki-laki lantas mengerjakan shalat. Seusai shalat, ia mengucapkan salam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau pun menjawab salamnya, lalu bersabda, ‘Ulangi shalatmu! Karena sesungguhnya engkau belum shalat.’ Kemudian ia pun mengulangi shalatnya seperti sebelumnya. Seusai shalat, ia pun kembali mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam kepada beliau… (hal ini dilakukannya hingga tiga kali).”[7]
Apabila umat Islam ini memahami dan menyadari betapa pentingnya ifsyâ-us salâm (menyebarkan salam), insya Allâh akan terwujud rasa saling menyayangi dan mencintai sesama kaum Muslimin.
Salam merupakan cara untuk memulihkan hubungan yang tidak baik sesama Muslim. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ. يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ لَيَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
Tidak halal seorang Muslim tidak bertegur sapa dengan saudaranya selama tiga malam, keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu pun berpaling. Akan tetapi orang yang terbaik dari keduanya adalah yang terlebih dahulu mengucapkan salam.[8]
Di atas sudah diterangkan bahwa mengucapkan salam yang diperintahkan tidak hanya terbatas satu kali, akan tetapi berkali-kali setiap kali bertemu.
Misalnya.
Pertama : Seorang karyawan Muslim bertemu dengan karyawan lainnya yang Muslim, maka hendaklah ia mengucapkan salam, ketika masuk maupun keluar kantor.
Kedua : Seorang ustadz bertemu dengan ustadz lainnya dalam satu sekolah atau dalam lembaga-lembaga dakwah, hendaklah selalu mengucapkan salam, meskipun beberapa kali bertemu.
Ketiga : Seorang ustadz atau guru hendaklah mengucapkan salam ketika masuk ke kelas, dan ketika keluar pun hendaklah ia mengucapkan salam.
Keempat, seseorang sampai dalam satu majlis hendaklah mengucapkan salam, dan ketika telah usai atau ia meninggalkannya hendaklah ia pun mengucapkan salam.[9]
Kelima : Seseorang yang masuk ke masjid atau mushalla atau surau hendaklah mengucapkan salam meskipun di dalamnya ada orang yang sedang shalat, atau ada yang sedang membaca al-Qur-an, atau ada yang sedang berdzikir. Sebab, para shahabat juga mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ketika itu beliau sedang shalat. Lantas, beliau pun menjawabnya dengan isyarat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata-kata karena dalam shalat dilarang berkata-kata selain dzikir, tasbîh, dan membaca ayat al-Qur'ân.[10]
Tentang penyebutan isyarat dalam hadits tersebut, hal itu dilakukan dalam shalat. Adapun di luar shalat, isyarat tersebut tidak diperbolehkan karena menyerupai perbuatan Yahudi, kecuali, apabila diiringi dengan salam.
Keenam : Seorang anak, ibu, atau bapak yang hendak masuk rumah hendaklah mengucapkan salam, demikian pula ketika keluar rumah.
Ketujuh : Seorang pedagang hendaklah mengucapkan salam kepada pedagang Muslim lainnya, atau seorang pembeli hendaklah mengucapkan salam kepada pedagang-pedagang Muslim lainnya yang ada di pasar. Hal ini sebagaimana riwayat dari shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
Dari Thufail bin Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, suatu ketika ia mendatangi ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, kemudian ia berjalan bersamanya ke pasar. Thufail berkata, “Setiap kali ia bertemu dengan tukang loak (pedagang barang bekas), pedagang, orang miskin, atau siapa saja, ia selalu mengucapkan salam.” Thufail melanjutkan, “Suatu hari aku datang lagi ke rumah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, lalu ia ingin ikut menemaniku ke pasar. Aku pun bertanya, ’Apa yang engkau kerjakan di pasar sedangkan engkau tidak berjual beli, tidak menanyakan harga barang-barang, dan tidak pula mau duduk-duduk di pasar.’ Aku melanjutkan, ‘Sebaiknya kita duduk-duduk saja disini sambil bercakap-cakap.’ Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma langsung menjawab, ‘Wahai Abu Bathn[11] , sesungguhnya kita pergi ke pasar semata-mata hanya ingin mengucapkan salam saja, yaitu kita ucapkan salam kepada kaum Muslimin mana saja yang kita jumpai.’”[12]
Ucapan salam adalah kalimat yang disenangi oleh Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Apabila kalimat salam diucapkan oleh kaum Muslimin setiap saat, setiap waktu, setiap hari, maka insya Allâh ummat Islam ini akan selamat dari penyakit-penyakit hati dan ummat Islam akan mempunyai ‘izzah (harga diri) di hadapan ummat-ummat yang lain. Oleh karena itu, kita harus berupaya menyebarkan salam dan menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini agar kita selamat dan mempunyai ‘izzah di hadapan orang-orang kafir.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Sebarkanlah salam, niscaya kalian akan selamat [13]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
أَفْشُوْا السَّلاَمَ كَيْ تَعْلُوْا
Sebarkanlah salam agar kalian menjadi tinggi (mempunyai ‘izzah)[14]
2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ) “Berikanlah makan.”
Yaitu berikanlah makan kepada orang-orang yang membutuhkan, kepada tamu dan tetangga. Ini merupakan akhlak mulia yang bisa menghantarkan pelakunya masuk surga. Orang yang memberikan makan kepada orang lain akan memiliki keistimewaan dan kedudukan di masyarakat. Orang yang memberikan maka akan mendapat rizki yang berlimpah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya Azza wa Jalla disebutkan :
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ ...
Sedekah tidak mengurangi harta…[15]
أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ
Berinfaqlah ! Niscaya Aku akan berinfaq kepadamu.”[16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma,
اِنْفَحِيْ ، أَوِ انْضَحِيْ ، أَوْ أَنْفِقِيْ ، وَلاَ تُحْصِيْ فَيُحْصِيَ اللهُ عَلَيْكِ ، وَلَا تُوْعِيْ فَيُوْعِيَ اللهُ عَلَيْكِ.
Infakkan, atau sedekahkan, atau nafkahkanlah, dan janganlah kamu menghitung-hitungnya sehingga Allâh akan menghitung-hitung pemberian-Nya kepadamu. Dan Janganlah kamu menakar-nakarnya sehingga Allâh menakar-nakar pemberian-Nya kepadamu.[17]
Orang yang memberi makan atau berinfak pasti akan diganti oleh Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ
…Dan apa saja yang kamu infakkan, Allâh akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.[Saba’/34: 39]
Adapun jika engkau menahan rizki yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadamu, maka Allâh Azza wa Jalla juga akan menahan rizki-Nya kepadamu. Memberi makan memiliki keistimewaan yang agung, khususnya orang-orang yang memberi makan kepada para tamu dan orang yang membutuhkan. Mereka memiliki keutamaan yang besar, terlebih lagi orang yang tinggal di tempat umum (lalu mereka suka memberi makan). Namun yang perlu diingat, memberi makan dan berinfak serta ibadah-ibadah lainnya wajib dilakukan dengan ikhlas karena Allâh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allâh , kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. [al-Insân/76:8-9]
3. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,) (وَصِلُوْا الْأَرْحَامَ “Sambunglah tali silaturrahim.”
al-Arhâm adalah jamak dari rahim. Maksudnya kerabat yang memiliki hubungan kekeluargaan dari ibu atau bapak, seperti paman, bibi, kakek, nenek, sepupu, dan lainnya. Mereka adalah al-arhâm. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
…Bertakwalah kepada Allâh yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan… [an-Nisâ’/4:1]
Maksudnya bertakwalah kepada Allâh Azza wa Jalla dan bertakwalah dalam urusan kekeluargaan agar engkau tidak memutusnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat… [al-Isrâ’/17:26]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ
“Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat…” [an-Nisâ’/4:36]
Banyak ayat yang memerintahkan untuk menyambung tali silaturrahim dan ancaman bagi yang memutus tali silaturrahim. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ ﴿٢٢﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allâh ; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.” [Muhammad/47: 22-23]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“…Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allâh agar disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi; mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” [ar-Ra’d/13:25]
Silaturrahim itu memiliki keistimewaan yang agung, merupakan sebab masuk Surga. Dan memutus silaturrahim menyebabkan laknat dan terjauhkan dari rahmat Allâh Azza wa Jalla .
4. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ) “Shalatlah di waktu malam, di saat manusia sedang tidur.”
Ini mencakup shalat-shalat wajib, seperti shalat ‘Isya dan shalat Shubuh, juga mencakup shalat malam, karena malam adalah waktunya orang-orang tidur. Jika seseorang bangun dan shalat maka ini menunjukkan keimanannya karena dia lebih memilih shalat dari pada tidur dan istirahat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya…” [as-Sajdah/32:16]
Seorang Muslim yang beriman kepada Allâh dan hari Akhir, dia berusaha untuk mengerjakan shalat wajib yang lima waktu berjamaah di Masjid. Dia juga berusaha untuk bangun di tengah malam untuk melakukan shalat Tahajjud di saat manusia sedang tidur. Di tengah malam dan di akhir malam dia gunakan untuk bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla , shalat malam, berdo’a dan minta ampun kepada Allâh Azza wa Jalla atas semua dosa-dosanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan Tahajjud sampai kakinya bengkak, ketika beliau ditanya bukankah engkau sudah diampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidaklah pantas aku menjadi hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang bersyukur ?” Shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shalih, menghapuskan dosa-dosa dan merupakan kemuliaan bagi seorang Muslim. Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat merutinkan shalat malam meskipun sedikit.
Barangsiapa mengerjakan keempat amalan ini, yakni menyebarkan salam, memberi makan, menyambung tali silaturrahim, dan shalat malam ketika manusia tertidur, akan masuk surga dengan sejahtera, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman. [al-Hijr/15:46]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ ۖ ذَٰلِكَ يَوْمُ الْخُلُودِ
Masuklah ke (dalam surga) dengan aman dan damai, itulah hari yang abadi. [Qâf/50: 34]
Itu adalah balasan mereka, pahala atau ganjaran yang sesuai dengan jenis amalan yang dikerjakan. Masuk surga merupakan cita-cita tujuan terbesar seorang Mukmin. Masuk surga itu mudah bagi siapa yang Allâh mudahkan. Semua yang ada dalam surga berupa kebaikan, kenikmatan, kelezatan dan kebahagiaan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allâh Azza wa Jalla . Amal-amal untuk masuk surga semuanya mudah dan tidak sulit. Ada seseorang berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan kepadaku amalan yang bisa memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau telah bertanya sesuatu yang besar, tapi itu mudah bagi siapa yang Allâh mudahkan, yaitu beribadahlah kepada Allâh dan jangan menyekutukannya dengan suatu apa pun…”[18]
Ini adalah hadits yang agung, karena keempatnya termasuk akhlak yang mulia. Menyebarkan salam, memberi makan, dan menyambung tali silaturrahim manfaatnya untuk orang lain, sedangkan shalat malam di saat yang lain tertidur manfaatnya untuk orang yang melakukan amalan tersebut.
D. FAWAID HADITS
1. Sangat dianjurkan menyebarkan salam kepada seluruh kaum Muslimin, yang dikenal maupun yang tidak.
2. Salam merupakan syi’ar agama Islam dan merupakan salah satu keindahan syari’at Islam.
3. Haram hukumnya mengganti ucapan salam dengan kalimat-kalimat lain.
4. Orang yang lebih dahulu mengucapkan salam adalah orang yang dicintai Allâh Azza wa Jalla .
5. Mengucapkan salam hukumnya sunnah yang sangat ditekankan, sedangkan hukumnya menjawab salam wajib
6. Haram hukumnya memberi salam kepada Yahudi, Nashrani, dan orang-orang kafir lainnya.
7. Anjuran memberi makan kepaa orang miskin, orang yang susah, dan orang yang membutuhkan.
8. Orang yang memberi makan mendapat ganjaran yang besar.
9. Orang yang berinfaq dan memberi makan maka tidak berkurang hartanya.
10. Wajib menyambung silaturrahim dan haram memutuskannya
11. Silaturrahim melapangkan rezeki dan memanjangkan umur
12. Sangat ditekankan (sunnah muakkadah) bangun tengah malam untuk shalat Tahajjud saat orang sedang tidur.
13. Shalat malam (Tahajjud) kebiasaan orang-orang shalih.
14. Shalat malam memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan seorang Muslim.
15. Shalat malam membuat seorang Muslim mulia.
16. Amal yang disebutkan dalam hadits di atas bila dikerjakan dengan ikhlas dan ittibâ’ akan memasukkan seorang Muslim ke dalam surga.
17. Seluruh amal-amal ketaatan dalam Islam adalah mudah bagi orang yang diberikan hidayah taufiq oleh Allâh Azza wa Jalla .
MARAAJI.
1. Kutubus Sittah dan Musnad Imam Ahmad.
2. Riyâdush Shâlihîn dan syarahnya.
3. Bulûghul Marâm min Adillatil Ahkâm.
4. Taudhîhul Ahkâm Syarah Bulûghul Marâm.
5. Tashîlul Ilmân bi fiqhil Ahâdiits min Bulûghil Marâm, syarah: Syaikh DR. Shaleh Fauzan bin ‘Abdulllah al-Fauzan.
6. ar-Rasâ-il jilid 3, oleh Penulis, cet. 1, Media Tarbiyah.
7. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Taudhîhul Ahkâm (VII/503).
[2].Shahîh: HR. Muslim (no. 54) dan lainnya, dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[3]. Shahîh : HR. al-Bukhâri (no. 12) dan Muslim (no. 39), dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
[4]. Hasan: HR. at-Thabarani dalam Mu’jamul Ausath (no. 5587) dan lainnya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 601).
[5]. Shahîh : HR. Abu Dâwud (no. 5200).
[6]. Hasan: HR. at-Thabarani dalam Mu’jamul Ausath (no. 7983). Lihat Majma’uz Zawâ-id (VIII/34).
[7]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 757, 793, 6251, 6252, 6667), Muslim (no. 397), dan yang lainnya.
[8]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6077, 6273), Muslim (no. 2560), Ahmad (V/416, 421, 422), Abu Dâwud (no. 4911), dan at-Tirmidzi (no. 1932) dari shahabat Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu.
[9]. Shahîh : HR. Abu Dâwud (no. 5208), at-Tirmidzi (no. 2707), dan lainnya.
[10]. Shahîh : HR. Abu Dawud (no.927) dengan sanad jayyid (baik).
[11]. Panggilan untuk Thufail karena perutnya besar.
[12]. Shahîh : HR. Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 912), dishahihkan oleh Syu’aib al-Arna-uth. Lihat Riyâdish Shâlihîn (no. 848).
[13]. Shahîh : HR. al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad dan Ahmad. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 1098).
[14]. Shahîh : HR. ath-Thabarani. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 1099).
[15]. Shahîh : HR. Muslim (no. 2588).
[16]. Shahîh : HR. al-Bukhâri (no. 4684) dan Muslim (no. 993) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[17]. Shahîh : HR. al-Bukhâri (no. 1433) dan Muslim (no. 1029). Lafazh ini milik Muslim.
[18]. Shahîh: HR. at-Tirmidzi (no. 2616) dan Ibnu Mâjah (no. 3973) dari Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu
0 komentar:
Posting Komentar