Pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan, seorang anak
lahir disebuah kota kecil. Bapaknya, seorang bekas pejuang kemerdekaan,
menimang orok itu dengan bangga.
“Selamat datang atas dunia. Selamat datang di Indonesia,
anakku” kata lelaki yang bahagia itu. “Kau adalah harapanku, masa depanku dan
pewarisku. Aku beri kau nama Merdeka dan jadilah kusuma bangsa. Tulis sejarah
yang berbeda dari apa yang yang sudah aku alami di masa lalu. Merdekakan diri
kamu dari segala macam penjajahan, jangan seperti bapakmu ini. Bebaskan negeri
ini dari kemiskinan. Merdekakan rakyat dari kesengsaraan akibat kezhaliman para
pemimpinnya sendiri. Jadilah masa depan kami semua.”
Merdeka kecil, sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa
menyimak. Ia hanya membuka mulutnya dan tertawa, bapaknya tersebut dan
berbisik.
“Syukur kamu sudah mendengar apa yang aku katakana.
Mudah-mudahan nanti, setelah kamu dewasa dan mengerti apa yang aku katakan,
kamu masih bisa tertawa.”
Dua puluh tahun kemudian, merdeka tumbuh dewasa. Ia menjadi
seorang anak muda yang gagah. Wajahnya cakap. Otaknya encer. Barang kali juga
terlalu cerdas untuk ukuran seusia dia. Ia sangat enerjetik dan suka membantah.
Teman-teman merdeka semua suka dan segan pada merdeka.
Tetapi guru-gurunya sebaliknya, mereka kesal.
“Merdeka adalah seorang anak yang hebat. Dia jenius, dia
bisa jadi pemimpin di masa depan untuk negeri ini. Jenis orang seperti merdeka
sangat kita butuhkan di zaman melenium ini. Tapi sayang dia terlalu PD,”kata
guru-gurunya
“Andaikan saja dia lebih rendah hati sedikit, dia tak ayal
lagi bisa menjadi harapan kita semua,” lanjut gurunya yang lain.” Karna di masa
globalisasi, ketika kita akan bersaing secara terbuka dengan seluruh dunia,
kita memerlukan SDM yang canggih. Merdeka adalah contohnya. Tetapi sayang , dia
terlalu cepat matang. Didalam menuntut ilmu, mula-mula yang diperlukan adalah
menyerap, bukan bersikap. Kalau belum apa-apa sudah bersikap , sebagaimana yang
dilakukan oleh merdeka, kita akan konyol. Kita tidak akan mungkin bisa lanjut.
Lihat saja, didalam ilmu pasti, pada dalil satu dan dua kita harus mau menerima
saja dulu, tidak boleh membantah. Nah nanti sesudah dalil tiga boleh
pertanyakan apa saja dengan logika. Sesudah menguasai ilmu, perkara mau
mendobrak atau melabrak, itu terserah. Tapi tidak mungkin memberontak sebelum
menguasai. Jadi merdeka sudah salah paham.”
Merdeka tidak peduli apa yang dikatakan guru-gurunya. Ia
lapar ilmu. Ia buka mulutnya lebar-lebar untuk meneguk. Ia tidak berdiri sama
sekali apa perasaan guru-gurunya. Kala ia tak setuju, tanpa bertimbangan lagi
ia protes. Tidak pandang tempat dan waktu, ia langsung dobrak.
Sebagai akibatnya, merdeka dikenal sebagai anak yang berani.
Ia ditakuti tetapi sekaligus dikucilkan. Guru-guru ngeper semua kalau ada
merdeka. Akhirnya karna kasus yang sangat sepele, merdeka dipecat dari sekolah.
Ketika teman-temannya menamatkan pelajaran pada mengantongi
ijazah, merdeka hanya mengantongi pengetahuan. Tetapi dia tidak kecil hati.
“Aku hanya memerlukan pengetahuan, aku tidak memerlukan ijazah,”katanya. Dengan
bekal kepintaran nya itu, ia terjun kemasyarakat dan meneguk hidup yang
sebenarnya.
Dimasyarakat, kenyataan berbeda dengan apa yang dibicarakan
didalam kelas. Walaupun semua orang setuju bahwa ilmu pengetahuan adalah utama,
pada prakteknya, yang menentukan orang dapat pekerjaan adalah ijazah. Kemana
merdeka pergi dia selalu diminta untuk memperlihatkan ijazahnya sebelum mereka
mau membuka pintu. Dan waktu mereka tau meredeka tak punya ijazah, itu langsung
di tutup.
“Boleh ngomong besar tapi mana bukti. Mana dokumen
rekomendasi?”
Teman-teman Merdeka yang goblok, semua mendapat pekerjaan
dan jabatan. Bahkan yang dulu lulus karena membeli ijazah dan nodong kepala
sekolah, mendapat posisi penting. Merdeka melihat kejanggalan itu dengan jijik.
Ia merasa diperlakukan tidak adil. Kontan ia mencak-mencak, berkoar menggelar
aksi protes. Tetapi kepada siapa? Ternyata semua orang hanya mengaku
menyuarakan keadilan dan kebenaran. Bila waktunya tiba untuk menunjukan aksi,
semuanya punya alasan untuk menghindar. Bahkan surat-surat kabar yang paling
vocal, tak berani memuat gugatannya, ketika itu mnyentuh orang yang berkuasa
yang mampu menyumpahnya dengan duit.
“Kalian semua hanya ngomong-ngomong muluk, prakteknya semua
dagang. Segala kegombalan yang kalian maki-maki, nyatanya kalian kaji sendiri!”
teriak Merdeka.
Mereka mulai marah dan benci pada kehidupan, karena hidup
berpihak pada ketidakadilan. Ia menjdai sinis dan apatis. Dunia yang
dibayangkan sebagai lautan harapan, sekarang sudah menjadi sarang kebobrokan.
Masa depan hanya enak dalam obrolan, pada kenyataan semua kentut.
Tetapi untunglah tidak semua yang hitam itu hitam. Rupanya
didalam belantara kebrengsekan itu, masih ada orang-orang yang idealisme.
Setelah kepalanya bonyok ditonjok oleh rasa kesal, merdeka bertemu dengan
seorang yang berpihak pada kebenaran.
“Memang ijazah itu perlu, karna itulah satu-satunya yang
bisa jadi pegangan kita untuk memilih orang terbaik. Tetapi diploma sekarang
gampang saja dipalsu. Dan keunggulan yang digaransi oleh sebuah ijazah pun
hanya keunggulan disekolah, sedangkan kita menggarap hidup keras dilapangan
yang memerlukan siasat. Sesuatu yang lupa diajarkan disekolah mana pun. Jadi
saudara merdeka, jangan merasa kesepian. Aku tidak buta. Aku melihat potensimu.
Persetan dengan ijazah, bukan orang-orang yang bertopeng ijazah itu yang akan
memperbaiki negeri ini, tetapi SDM hebat seperti kamu.”
Merdeka lantas di rangkulnya. Diberikan tanggung jawab untuk
memimpin sebuah proyek raksasa yang menentukan nasib berjuta-juta orang.
Merdeka disodori jabatan, kekuasaan dan harapan. Merdeka kontan sembuh. Ia
terima jabatan itu dan siap hendak berpacu.
Tetapi apa lacur, pada hari pengangkatannya sebagai panglima
proyek, orang yang merangkulnya muncul membawa segepok uang. Dengan muka manis
tetapi malu-malu, ia menarik merdeka kesudut.
“Merdeka, “katanya seperti suara orang yang bersalah,” kita
semua tau, setiap orang mencari pekerjaan, untuk mendapatkan uang. Betul
tidak?” mereka mengaku betul
“Nah, berarti kamu juga bekerja untuk mendapatkan uang.
Kalau uang yang kamu cari itu sudah kamu dapatkan, buat apa lagi pekerjaan.
Yakan? Jadi,liat aku bawakan kamu uang banyak sekali. Terimalah uang ini. Dan
serahkan jabatan yang sudah ada ditangan mu ini kembali kepadaku. Karna ada seorang
anak pejabat yang memerlukan itu. Ia punya duit banyak sekali. Tetapi ia tidak
punya kehormatan karna tidak ada jabatan. Ia membeli jabatan kamu. Jadi
terimalah! Kamu untung aku juga untung!”
Tanpa menunggu jawaban lagi, jabatan itu diambilnya kembali
sambil menaruh segepok uang ditangan merdeka. Sebelum merdeka bisa mencegahnya
ia sudah kabur. Merdeka menjadi histeris. Uang itu dicampakannya sambil
mengumpat.
“Bangsat! Aku memang perlu uang. Aku tahu untuk hidup orang
membutuhkan uang. Tapi aku tidak hidup untuk mencari uang. Aku cari uang untuk
hidup. Dan aku hidup untuk menjalankan amanat bapakku untuk membangun bangsa
ini. Untuk menjadi manusia yang berarti dan berbuat kebajikan kepada negeri dan
rakyatku!”
Suara merdeka lantang dan jelas. Tapi orag idealis itu sudah
ngibrit entah kemana. Tinggal merdeka yang sekarang benar-benar merasa nasibnya
sangat sialan. Ia berteriak-teriak karena tak mampu lagi menahan dirinya.
Orang-orang ilang bahwa anak muda itu sudah mulai terganggu.
“Kamu kelihatannya frustasi merdeka,” kata seorang sahabat.
“Di zaman edhan ini, siapa yang tidak frustasi. Kalau kamu ikutkan perasaanmu
kamu akan gila. Tetapi semua orang memang sudah gila. Kamu tidak akan menjadi
istimewa karena menjadi gila. Lebih baik kamu lawan semua itu!”
“Lawan? Lawan dengan apa? Musuhku tidak kelihatan. Kalau ada
aku hajar juga!”
“Lawan dengan cara menerimanya! Pasrah!”
“Tidak! Aku tidak mau jadi orang jawa yang nrimo. Itu sudah
kuno! Aku manusia baru. Aku bukan proyek feodalisme yang mau saja menjadi budak
segala ketidakadilan ini. Aku mau berontak!”
“Tidak mungkin! Orang gila tidak mungkin berontak. Paling
banter kamu akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kalau mau berontak jangan
pakai otot, pakai mulut dan diplomasi. Belajar dari para politisi. Untuk
menguasai diplomasi pikiran kamu harus tenang. Dan untuk tenang jiwa kamu harus
stabil. Untuk membuat emosimu stabil, kamu harus punya seorang pendamping.
Walhasil, merdeka, satu-satunya jalan yang bisa kamu pilih sekarang adalah:
kawin. Kawinlah merdeka, sebelum terlambat!”
Merdeka terkejut.
“Apa? Kawin?”
“Ya! Menikah! Apa kamu tidak sadar bahwa manusia tidak bisa
hidup sendiri. Setiap manusia wajib punya teman hidup. Baik untuk menyalurkan
kebutuhan biologis maupun untuk berkomplot. Kalau kamu tetap sendiri, kamu akan
menjadi manusia separuh yang tidak lengkap. Emosimu akan labil. Dan staminamu
hanya sebatas ayam sayur. Jatidirimu akankropos. Dan kamu akan gim. Makanya,
cepat-cepat saja, carilah seorang teman hidup. Berkongsi, melawan semua
kebejatan dunia ini. Kalau tidak kamu akan terlambat. Coba umurmu sudah berapa
sekarang? Jangan terlalu sibuk berjuang, nanti kamu keburu tua dan tidak jadi
apa-apa! Apa kamu mau kadaluwarsa?”
0 komentar:
Posting Komentar