Kamis, 12 Februari 2015

MERDEKA



Pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan, seorang anak lahir disebuah kota kecil. Bapaknya, seorang bekas pejuang kemerdekaan, menimang orok itu dengan bangga.
“Selamat datang atas dunia. Selamat datang di Indonesia, anakku” kata lelaki yang bahagia itu. “Kau adalah harapanku, masa depanku dan pewarisku. Aku beri kau nama Merdeka dan jadilah kusuma bangsa. Tulis sejarah yang berbeda dari apa yang yang sudah aku alami di masa lalu. Merdekakan diri kamu dari segala macam penjajahan, jangan seperti bapakmu ini. Bebaskan negeri ini dari kemiskinan. Merdekakan rakyat dari kesengsaraan akibat kezhaliman para pemimpinnya sendiri. Jadilah masa depan kami semua.”
Merdeka kecil, sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulutnya dan tertawa, bapaknya tersebut dan berbisik.
“Syukur kamu sudah mendengar apa yang aku katakana. Mudah-mudahan nanti, setelah kamu dewasa dan mengerti apa yang aku katakan, kamu masih bisa tertawa.”
Dua puluh tahun kemudian, merdeka tumbuh dewasa. Ia menjadi seorang anak muda yang gagah. Wajahnya cakap. Otaknya encer. Barang kali juga terlalu cerdas untuk ukuran seusia dia. Ia sangat enerjetik dan suka membantah.
Teman-teman merdeka semua suka dan segan pada merdeka. Tetapi guru-gurunya sebaliknya, mereka kesal.
“Merdeka adalah seorang anak yang hebat. Dia jenius, dia bisa jadi pemimpin di masa depan untuk negeri ini. Jenis orang seperti merdeka sangat kita butuhkan di zaman melenium ini. Tapi sayang dia terlalu PD,”kata guru-gurunya
“Andaikan saja dia lebih rendah hati sedikit, dia tak ayal lagi bisa menjadi harapan kita semua,” lanjut gurunya yang lain.” Karna di masa globalisasi, ketika kita akan bersaing secara terbuka dengan seluruh dunia, kita memerlukan SDM yang canggih. Merdeka adalah contohnya. Tetapi sayang , dia terlalu cepat matang. Didalam menuntut ilmu, mula-mula yang diperlukan adalah menyerap, bukan bersikap. Kalau belum apa-apa sudah bersikap , sebagaimana yang dilakukan oleh merdeka, kita akan konyol. Kita tidak akan mungkin bisa lanjut. Lihat saja, didalam ilmu pasti, pada dalil satu dan dua kita harus mau menerima saja dulu, tidak boleh membantah. Nah nanti sesudah dalil tiga boleh pertanyakan apa saja dengan logika. Sesudah menguasai ilmu, perkara mau mendobrak atau melabrak, itu terserah. Tapi tidak mungkin memberontak sebelum menguasai. Jadi merdeka sudah salah paham.”
Merdeka tidak peduli apa yang dikatakan guru-gurunya. Ia lapar ilmu. Ia buka mulutnya lebar-lebar untuk meneguk. Ia tidak berdiri sama sekali apa perasaan guru-gurunya. Kala ia tak setuju, tanpa bertimbangan lagi ia protes. Tidak pandang tempat dan waktu, ia langsung dobrak.
Sebagai akibatnya, merdeka dikenal sebagai anak yang berani. Ia ditakuti tetapi sekaligus dikucilkan. Guru-guru ngeper semua kalau ada merdeka. Akhirnya karna kasus yang sangat sepele, merdeka dipecat dari sekolah.
Ketika teman-temannya menamatkan pelajaran pada mengantongi ijazah, merdeka hanya mengantongi pengetahuan. Tetapi dia tidak kecil hati. “Aku hanya memerlukan pengetahuan, aku tidak memerlukan ijazah,”katanya. Dengan bekal kepintaran nya itu, ia terjun kemasyarakat dan meneguk hidup yang sebenarnya.
Dimasyarakat, kenyataan berbeda dengan apa yang dibicarakan didalam kelas. Walaupun semua orang setuju bahwa ilmu pengetahuan adalah utama, pada prakteknya, yang menentukan orang dapat pekerjaan adalah ijazah. Kemana merdeka pergi dia selalu diminta untuk memperlihatkan ijazahnya sebelum mereka mau membuka pintu. Dan waktu mereka tau meredeka tak punya ijazah, itu langsung di tutup.
“Boleh ngomong besar tapi mana bukti. Mana dokumen rekomendasi?”
Teman-teman Merdeka yang goblok, semua mendapat pekerjaan dan jabatan. Bahkan yang dulu lulus karena membeli ijazah dan nodong kepala sekolah, mendapat posisi penting. Merdeka melihat kejanggalan itu dengan jijik. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Kontan ia mencak-mencak, berkoar menggelar aksi protes. Tetapi kepada siapa? Ternyata semua orang hanya mengaku menyuarakan keadilan dan kebenaran. Bila waktunya tiba untuk menunjukan aksi, semuanya punya alasan untuk menghindar. Bahkan surat-surat kabar yang paling vocal, tak berani memuat gugatannya, ketika itu mnyentuh orang yang berkuasa yang mampu menyumpahnya dengan duit.
“Kalian semua hanya ngomong-ngomong muluk, prakteknya semua dagang. Segala kegombalan yang kalian maki-maki, nyatanya kalian kaji sendiri!” teriak Merdeka.
Mereka mulai marah dan benci pada kehidupan, karena hidup berpihak pada ketidakadilan. Ia menjdai sinis dan apatis. Dunia yang dibayangkan sebagai lautan harapan, sekarang sudah menjadi sarang kebobrokan. Masa depan hanya enak dalam obrolan, pada kenyataan semua kentut.
Tetapi untunglah tidak semua yang hitam itu hitam. Rupanya didalam belantara kebrengsekan itu, masih ada orang-orang yang idealisme. Setelah kepalanya bonyok ditonjok oleh rasa kesal, merdeka bertemu dengan seorang yang berpihak pada kebenaran.
“Memang ijazah itu perlu, karna itulah satu-satunya yang bisa jadi pegangan kita untuk memilih orang terbaik. Tetapi diploma sekarang gampang saja dipalsu. Dan keunggulan yang digaransi oleh sebuah ijazah pun hanya keunggulan disekolah, sedangkan kita menggarap hidup keras dilapangan yang memerlukan siasat. Sesuatu yang lupa diajarkan disekolah mana pun. Jadi saudara merdeka, jangan merasa kesepian. Aku tidak buta. Aku melihat potensimu. Persetan dengan ijazah, bukan orang-orang yang bertopeng ijazah itu yang akan memperbaiki negeri ini, tetapi SDM hebat seperti kamu.”
Merdeka lantas di rangkulnya. Diberikan tanggung jawab untuk memimpin sebuah proyek raksasa yang menentukan nasib berjuta-juta orang. Merdeka disodori jabatan, kekuasaan dan harapan. Merdeka kontan sembuh. Ia terima jabatan itu dan siap hendak berpacu.
Tetapi apa lacur, pada hari pengangkatannya sebagai panglima proyek, orang yang merangkulnya muncul membawa segepok uang. Dengan muka manis tetapi malu-malu, ia menarik merdeka kesudut.
“Merdeka, “katanya seperti suara orang yang bersalah,” kita semua tau, setiap orang mencari pekerjaan, untuk mendapatkan uang. Betul tidak?” mereka mengaku betul
“Nah, berarti kamu juga bekerja untuk mendapatkan uang. Kalau uang yang kamu cari itu sudah kamu dapatkan, buat apa lagi pekerjaan. Yakan? Jadi,liat aku bawakan kamu uang banyak sekali. Terimalah uang ini. Dan serahkan jabatan yang sudah ada ditangan mu ini kembali kepadaku. Karna ada seorang anak pejabat yang memerlukan itu. Ia punya duit banyak sekali. Tetapi ia tidak punya kehormatan karna tidak ada jabatan. Ia membeli jabatan kamu. Jadi terimalah! Kamu untung aku juga untung!”
Tanpa menunggu jawaban lagi, jabatan itu diambilnya kembali sambil menaruh segepok uang ditangan merdeka. Sebelum merdeka bisa mencegahnya ia sudah kabur. Merdeka menjadi histeris. Uang itu dicampakannya sambil mengumpat.
“Bangsat! Aku memang perlu uang. Aku tahu untuk hidup orang membutuhkan uang. Tapi aku tidak hidup untuk mencari uang. Aku cari uang untuk hidup. Dan aku hidup untuk menjalankan amanat bapakku untuk membangun bangsa ini. Untuk menjadi manusia yang berarti dan berbuat kebajikan kepada negeri dan rakyatku!”
Suara merdeka lantang dan jelas. Tapi orag idealis itu sudah ngibrit entah kemana. Tinggal merdeka yang sekarang benar-benar merasa nasibnya sangat sialan. Ia berteriak-teriak karena tak mampu lagi menahan dirinya. Orang-orang ilang bahwa anak muda itu sudah mulai terganggu.
“Kamu kelihatannya frustasi merdeka,” kata seorang sahabat. “Di zaman edhan ini, siapa yang tidak frustasi. Kalau kamu ikutkan perasaanmu kamu akan gila. Tetapi semua orang memang sudah gila. Kamu tidak akan menjadi istimewa karena menjadi gila. Lebih baik kamu lawan semua itu!”
“Lawan? Lawan dengan apa? Musuhku tidak kelihatan. Kalau ada aku hajar juga!”
“Lawan dengan cara menerimanya! Pasrah!”
“Tidak! Aku tidak mau jadi orang jawa yang nrimo. Itu sudah kuno! Aku manusia baru. Aku bukan proyek feodalisme yang mau saja menjadi budak segala ketidakadilan ini. Aku mau berontak!”
“Tidak mungkin! Orang gila tidak mungkin berontak. Paling banter kamu akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kalau mau berontak jangan pakai otot, pakai mulut dan diplomasi. Belajar dari para politisi. Untuk menguasai diplomasi pikiran kamu harus tenang. Dan untuk tenang jiwa kamu harus stabil. Untuk membuat emosimu stabil, kamu harus punya seorang pendamping. Walhasil, merdeka, satu-satunya jalan yang bisa kamu pilih sekarang adalah: kawin. Kawinlah merdeka, sebelum terlambat!”
Merdeka terkejut.
“Apa? Kawin?”

“Ya! Menikah! Apa kamu tidak sadar bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Setiap manusia wajib punya teman hidup. Baik untuk menyalurkan kebutuhan biologis maupun untuk berkomplot. Kalau kamu tetap sendiri, kamu akan menjadi manusia separuh yang tidak lengkap. Emosimu akan labil. Dan staminamu hanya sebatas ayam sayur. Jatidirimu akankropos. Dan kamu akan gim. Makanya, cepat-cepat saja, carilah seorang teman hidup. Berkongsi, melawan semua kebejatan dunia ini. Kalau tidak kamu akan terlambat. Coba umurmu sudah berapa sekarang? Jangan terlalu sibuk berjuang, nanti kamu keburu tua dan tidak jadi apa-apa! Apa kamu mau kadaluwarsa?”

0 komentar:

Posting Komentar