Sabtu, 14 Februari 2015

AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


C. Syarat-Syarat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Syarat Pertama: اَلْعِلْمُ (Al-‘Ilmu/ Mengetahui)
Yaitu mengetahui arti dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ

“Maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah...” [Muhammad: 19]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Melainkan mereka yang mengakui kebenaran, sedang mereka orang-orang yang mengetahui.” [Az-Zukh-ruf: 86]

Yang dimaksud dengan “mengakui kebenaran” adalah kebenaran kalimat laa ilaaha illallaah. Sedangkan maksud dari “sedang mereka orang-orang yang mengerti” adalah mengerti dengan hati mereka tentang apa yang diucapkan dengan lisan.

Dalam hadits yang shahih dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

“Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, maka ia masuk Surga.” [1]

Syarat Kedua: اَلْيَقِيْنُ (Al-Yaqiin/Meyakini)
Yaitu yakin serta benar-benar memahami kalimat laa ilaaha illallaah tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, mereka itulah orang-orang yang benar.” [Al-Hujuraat: 15]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

...أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ لاَ يَلْقَى اللهَ بِهِمَا عَبْدٌ، غَيْرَ شَاكٍّ فِيْهِمَا، إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

“... Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku (Muhammad j) adalah utusan Allah, tidaklah seorang hamba menjumpai Allah (dalam keadaan) tidak ragu-ragu terhadap kedua (syahadat)nya itu, melainkan ia masuk Surga.” [2]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

...اذْهَبْ بِنَعْلَيَّ هَاتَيْنِ، فَمَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ...

“... Pergilah dengan sandalku ini, maka siapa saja yang engkau temui di belakang kebun ini yang ia bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dengan hati yang meyakininya, maka berikanlah kabar gembira kepadanya dengan masuk Surga.” [3]

Maka, syarat untuk masuk Surga bagi orang yang mengucapkannya adalah hatinya harus yakin dengannya (kalimat Tauhid) serta tidak ragu-ragu terhadapnya. Apabila syarat tersebut tidak ada maka yang disyaratkan (masyrut) juga tidak ada.

Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:

اَلْيَقِيْنُ اْلإِيْمَانُ كُلُّهُ وَالصَّبْرُ نِصْفُ اْلإِيْمَانِ.

“Yakin adalah iman secara keseluruhan, dan sabar adalah sebagian dari iman.” [4]

Tidak ada keraguan lagi bahwasanya orang yang yakin dengan makna laa ilaaha illallaah, seluruh anggota tubuhnya akan patuh beribadah kepada Allah Azza wa Jalla yang tiada sekutu bagi-Nya, dan akan mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:

اَللّهُمَّ زِدْنَا إِيْمَانًا، وَيَقِيْنًا وَفِقْهًا.

“Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan dan kefahaman.” [5]

Syarat Ketiga: اْلإِخْلاَصُ (Al-Ikhlash/Ikhlas)
Yaitu memurnikan amal perbuatan dari segala kotoran-kotoran syirik, dan mengikhlaskan segala macam ibadah hanya kepada Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“... Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)...” [Az-Zumar: 2-3]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya...” [Al-Bayyinah: 5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفاَعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ.

“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah secara ikhlas dari hati atau jiwanya.” [6]

Syarat Keempat: الصِّدْقُ (Ash-Shidq/Jujur)
Maksudnya mengucapkan kalimat ini dengan jujur disertai pembenaran oleh hatinya. Barangsiapa lisannya mengucapkan namun hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ

“Dan di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,’ padahal sesungguhnya mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” [Al-Baqarah: 8-9]

Juga firman Allah Azza wa Jalla tentang orang munafik:

قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ

“... Mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah...’” [Munaafiquun: 1]

Kemudian Allah Azza wa Jalla mendustakan mereka dengan firman-Nya:

وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

“... Dan Allah mengetahui bahwa engkau adalah Rasul-Nya dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” [Munaafiquun: 1]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ.

“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allah mengharamkannya masuk Neraka.”[7]

Syarat Kelima: اَلْمَحَبَّةُ (Al-Mahabbah/Cinta)
Maksudnya mencintai kalimat tauhid ini, mencintai yang terkandung di dalamnya dan segala sesuatu yang ditunjukkan atasnya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah....” [Al-Baqarah: 165]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imran: 31]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ. مَنْ كاَنَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ.

“Tiga perkara, apabila terdapat pada diri seseorang maka dia akan mendapat kelezatan iman: (1) apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, (2) mencintai seseorang semata-mata karena Allah, (3) membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia benci di-campakkan ke dalam api.” [8]

Syarat Keenam: اْلإِنْقِيَادُ (al-Inqiyad/Tunduk dan patuh).
Seorang muslim harus tunduk dan patuh terhadap apa-apa yang ditunjukkan oleh kalimat laa ilaaha illallaah, hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengamalkan syari’at-syari’at-Nya, beriman dengan-Nya, dan berkeyakinan bahwasanya hal itu adalah haq.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ

“Dan kembalilah kamu kepada Rabb-mu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” [Az-Zumar: 54]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” [An-Nisaa': 125]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ ۗ وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” [Luqman: 22]

Syarat Ketujuh: اَلْقَبُوْلُ (al-Qabul/Menerima)
Yaitu menerima kandungan dan konsekuensi dari kalimat syahadat ini, menyembah Allah Azza wa Jalla semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Barangsiapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan mentaati, maka ia termasuk dari orang-orang yang difirmankan Allah Azza wa Jalla :

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ

“Sesungguhnya dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilaaha illallaah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah)’ mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?’” [Ash-Shaaffaat: 35-36]

Ini seperti halnya penyembah kubur di zaman ini. Mereka mengikrarkan, “Laa ilaaha illallaah,” tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan mereka terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna: “Laa ilaaha illallaah.” [9]

D. Rukun لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu;
1. النَّفْيُ (an-Nafyu/mengingkari), yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
2. اْلإِثْبَاتُ (al-Itsbat/menetapkan), yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“... Barangsiapa yang kufur kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang sangat kokoh yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 256]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thagut, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara mereka yang tetap dalam kesesatan. Maka ber-jalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-Rasul).” [An-Nahl: 36]

E. Kesyirikan dan Bahayanya
Jika bentuk-bentuk ibadah yang Allah syari’atkan di-palingkan dari Allah Azza Wa Jalla atau secara bersamaan ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla dan juga kepada selain-Nya, maka inilah yang disebut dengan kesyirikan.

Di antara bentuk-bentuk kesyirikan yang masih diyakini oleh sebagian kaum Muslimin antara lain:
1. Meminta suatu maslahat atau dijauhkan dari mudharat (bahaya) kepada kuburan Nabi, habib, wali, kyai dan lainnya, bernadzar dan menyembelih hewan untuk mereka.

2. Mempercayai dan mendatangi dukun, paranormal, tukang sihir, orang pintar, tukang ramal dan yang sepertinya dan meminta perlindungan kepada jin.

3. Mempercayai jimat, tongkat, tangkal, susuk kekuatan, pusaka, barang sakti, ramalan bintang, dan lainnya.

4. Mempercayai dan menggunakan jampi-jampi, pelet, guna-guna dan lain-lain.

Syirik merupakan kemaksiatan yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan dosa yang paling besar, yang tidak akan diampuni Allah Azza wa Jalla, jika pelaku syirik mati di atas syirik dan tidak bertaubat.

Orang yang berbuat syirik adalah orang paling sesat, paling zhalim di muka bumi ini.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“… Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqman: 13]

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa': 48]

Firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mem-persekutukan (sesuatu) dengan Dia (syirik), dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [An-Nisaa': 116]

F. Akibat Orang yang Berbuat Syirik
Menurut ayat di atas (An-Nisaa': 116) menunjukkan bahwa Allah tidak mengampuni orang yang berbuat syirik, jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak taubat.

Orang yang berbuat syirik tidak mengalami ketenangan dalam hidupnya.
Orang yang berbuat syirik tidak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Orang yang berbuat syirik diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk masuk Surga. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh Allah mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]

Orang yang berbuat syirik akan terhapus pahala amal-amal kebajikan yang pernah dilakukannya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“...Seandainya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka ker-jakan.” [Al-An’aam: 88]

G. Pengertian Syahadat: “Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.” [10]
Makna dari syahadat: “Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam” adalah:
a. طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ, yaitu mentaati apa-apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan.

Firman Allah Ta’ala:

وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.” [An-Nisaa': 13]

b. تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ , yaitu membenarkan apa-apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya...” [Al-Hadiid: 28]

c. اجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ , yaitu menjauhkan diri dari apa-apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam larang.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“ ... Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...” [Al-Hasyr: 7]

d. أَنْ لاَ يَعْبُدَ اللهَ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ, yaitu tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan cara yang telah disyari’atkan.

Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut apa yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kita wajib ittiba’ kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah men-cintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imran: 31]

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 26) dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu
[2]. HR. Muslim (no. 27) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[3]. HR. Muslim (no. 31) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[4]. HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dan pasti. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Riwayat ini dimaushulkan (disambungkan) oleh Imam ath-Thabrani, dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud, dengan sanad yang shahih.” (Fat-hul Baari (I/48)).
[6]. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (I/48) menyatakan bahwa sanadnya shahih.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 99, 6570) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32) dari hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 16, 21, 6041) dan Muslim (no. 43 (67)) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dan lafazh ini milik Muslim.
[9]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 44).
[10]. Lihat Syarh al-Ushuul ats-Tsalaatsah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin v (hal. 75).

PENGERTIAN ISLAM DAN TINGKATANNYA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


A. Pengertian Islam
Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:

Pertama: Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang telah ditentukan dan ditakdirkan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang Nabi Ibrahim Alaihissallam [1]:

إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ ۖ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab: ‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.’” [Al-Baqarah: 131]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahulllah, definisi Islam adalah:

َاْلإِسْلاَمُ: َاْلإِسْتِسْلاَمُ ِللهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَاْلإِنْقِيَادُ لَهُ باِلطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ.

“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.”

Kedua: Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan hartanya [2], baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal hati [3].

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [Al-Hujuraat: 14]

B. Tingkatan Islam
Tidak diragukan lagi bahwa prinsip agama Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim ada tiga, yaitu; (1) mengenal Allah Azza wa Jalla, (2) mengenal agama Islam beserta dalil-dalilnya [4], dan (3) mengenal Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mengenal agama Islam adalah landasan yang kedua dari prinsip agama ini dan padanya terdapat tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Setiap tingkatan mempunyai rukun sebagai berikut:

Tingkatan Pertama: Islam
Islam memiliki lima rukun, yaitu:
1. Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
2. Menegakkan shalat.
3. Membayar zakat.
4. Puasa di bulan Ramadhan.
5. Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke sana.

Kelima rukun Islam ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ;

َاْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.

“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menuju ke sana.” [5]

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ.

“Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.” [6]

Tingkatan Kedua: Iman
Definisi iman menurut Ahlus Sunnah mencakup perkataan dan perbuatan, yaitu meyakini dengan hati, meng-ikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan, dapat bertambah dengan ketaatan dan dapat berkurang dengan sebab perbuatan dosa dan maksiyat.

Iman memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana terdapat dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ.

“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang, cabang yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaaha illallaah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang iman.” [7]

Rukun Iman ada enam, yaitu:
1. Iman kepada Allah.
2. Iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya.
3. Iman kepada Kitab-Kitab-Nya.
4. Iman kepada Rasul-Rasul-Nya.
5. Iman kepada hari Akhir.
6. Iman kepada takdir yang baik dan buruk.

Keenam rukun iman ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam jawaban Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas pertanyaan Malaikat Jibril Alaihissallam tentang iman, yaitu:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ اْلآخِِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.

“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan buruk.” [8]

Tingkatan Ketiga: Ihsan
Ihsan memiliki satu rukun yaitu engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam kisah jawaban Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Jibril Alaihissallam ketika ia bertanya tentang ihsan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka bila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.” [9]

Tidak ragu lagi, bahwa makna ihsan secara bahasa adalah memperbaiki amal dan menekuninya, serta mengikhlaskannya. Sedangkan menurut syari’at, pengertian ihsan sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.”

Maksudnya, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan ihsan dengan memperbaiki lahir dan batin, serta menghadirkan kedekatan Allah Azza wa Jalla, yaitu bahwasanya seakan-akan Allah berada di hadapannya dan ia melihat-Nya, dan hal itu akan mengandung konsekuensi rasa takut, cemas, juga pengagungan kepada Allah Azza wa Jalla, serta mengikhlaskan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan memperbaikinya dan mencurahkan segenap kemampuan untuk melengkapi dan menyempurnakannya.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mufradat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian سَلِمَ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahaani dan Ma’aarijul Qabul (II/20-21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[2]. Terjaga dirinya maksudnya tidak boleh diperangi (dibunuh) dan terjaga hartanya, maksudnya tidak boleh diambil atau dirampas. Sebagaimana terdapat dalam hadits Arba’iin yang kedelapan.
[3]. Lihat Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian سَلِمَ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani, Ma’aarijul Qabuul (II/21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I/Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, dan Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam oleh al-Hafizh Ibnu Rajab.
[4]. Artinya memahami Islam sebagai agama dengan dalil-dalilnya yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum.
[5]. HR. Muslim (no. 8), Ahmad (I/27), Abu Dawud (no. 4695), at-Tirmidzi (no. 2610), an-Nasa-i (VIII/97-98) dan Ibnu Majah (no. 63), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab.
[6]. Muttafaqun ‘alaih: HR. Al-Bukhari dalam Kitaabul Iiman bab Du’aa-ukum Imaanukum (no. 8) dan Muslim dalam Kitaabul Iiman bab Arkaanul Islaam (no. 16).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 9) dan Muslim (no. 35). Lafazh ini milik Muslim dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[8]. HR. Muslim (no. 8), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Muslim (no. 8), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[10]. Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (I/126) oleh al-Hafizh Ibnu Rajab, Ma’aarijul Qabul (II/338) oleh Syaikh Hafizh al-Hakami, dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (hal. 66-67) oleh Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab t dengan hasyiyah ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.

PENGHALANG-PENGHALANG DALAM MENUNTUT ILMU

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


8. Tidak Mengamalkan Ilmu
Tidak mengamalkan ilmu merupakan salah satu penyebab hilangnya keberkahan ilmu. Orang yang memilikinya akan dimintai pertanggungjawaban atas ilmunya. Allah Ta’ala benar-benar mencela orang yang melakukan hal ini dalam firman-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Hal (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [Ash-Shaff: 3]

Tidak mengamalkan ilmu terbagi menjadi dua:

Pertama: Meninggalkan perintah-perintah syari’at dan meninggalkan perintah untuk tidak melakukan berbagai hal yang diharamkan syari’at. Hal ini termasuk dosa besar dan kepadanyalah ditujukan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang ancaman tidak mengamalkan ilmu.

Kedua: Meninggalkan perkara-perkara yang di-anjurkan dan meninggalkan perintah untuk menjauhi perkara-perkara yang dimakruhkan. Terkadang hal ini dicela, namun tidak masuk dalam nash-nash ancaman. Tetapi, sudah seharusnya bagi seorang alim dan para penuntut ilmu untuk melakukan berbagai perkara yang dianjurkan dan menjauhkan berbagai perkara yang dimakruhkan.[1]

'Ali bin Abi Thalib (wafat th. 40 H) radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Ilmu itu memanggil amal. Jika ia memenuhi panggilan tersebut (maka itu baik), dan jika tidak ia akan pergi.”[2]

Mengapa demikian? Karena ilmu dan amal adalah dua perkara yang saling berkaitan. Bisa jadi keduanya berkumpul dan bisa jadi keduanya berpisah. Apabila ada ilmu yang tidak diiringi dengan amal, maka orang yang memilikinya akan dimintai pertanggungjawaban atas ilmu tersebut.

Imam adz-Dzahabi rahimahullaah menggambarkan kondisi di zamannya dalam perkataannya, “Hari ini, tidak tersisa dari ilmu-ilmu yang sedikit ini kecuali sangat sedikit dan ada pada orang tertentu saja. Begitu sedikitnya orang yang mengamalkan di antara mereka yang berilmu sedikit itu. Cukuplah Allah bagi kami dan Dia-lah sebaik-baik penolong.” [3]

9. Putus Asa dan Rendah Diri
Wahai para penuntut ilmu! Kita, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat th. 852 H), dan ulama-ulama lainnya sama-sama disebutkan dalam firman Allah, 

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” [An-Nahl: 78]

Kita semua adalah orang yang disebutkan dalam ayat di atas. Ayat ini menyatakan bahwa semua manusia itu sama.

Putus asa dan tidak percaya diri merupakan salah satu sebab tidak diperolehnya ilmu. Jangan merasa rendah diri dengan lemahnya kemampuan menghafal, lemah dalam pemahaman, lambat dalam membaca, atau cepat lupa... Semua penyakit ini akan hilang jika kita meluruskan niat dan mencurahkan usaha. 

Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H) rahimahullaah pernah ditanya, “Apakah obat lupa itu?” Beliau menjawab, “Senantiasa melihat ke kitab.” (yaitu selalu membaca dan mengulangnya).[4] 

Selain itu, menjauhi maksiyat adalah sebab paling utama dalam membantu menguatkan hafalan. Jadi kita tidak boleh putus asa dan rendah diri, namun kita harus bersungguh-sungguh dan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.

10. Terbiasa Menunda-nunda
Seorang ulama Salaf berkata, “Menunda-nunda adalah termasuk tentara iblis.”

Sebagian penuntut ilmu terbiasa menunda-nunda belajarnya dalam waktu lama. Mereka mengatakan, “Saya akan menghafalkan kitab si fulan pada hari anu. Saya akan membaca kitab si fulan setelah melakukan ini dan itu.”

Yusuf bin Asbath (wafat th. 195 H) rahimahullaah mengatakan, “Muhammad bin Samurah as-Sa-ih menulis surat kepadaku sebagai berikut, ‘Wahai saudaraku, janganlah sifat menunda-nunda menguasai jiwamu dan tertanam dalam hatimu karena ia membuat lesu dan merusak hati. Ia memendekkan umur kita, sedangkan ajal segera tiba... .Bangkitlah dari tidurmu dan sadarlah dari kelalaianmu! Ingatlah apa yang telah engkau kerjakan, engkau sepelekan, engkau sia-siakan, engkau hasilkan, dan apa yang engkau lakukan. Sungguh, semua itu akan dicatat dan dihisab sehingga seolah-olah engkau terkejut dengannya dan engkau sadar dengan apa yang telah engkau lakukan, atau menyesali apa yang telah engkau sia-siakan.”[5]

Setiap orang yang ingin mendapatkan ilmu dan ingin berkepribadian sebagaimana orang yang berilmu, hendaklah tidak menyia-nyiakan waktunya sedikit pun. Sesungguhnya jika seseorang mau membaca sejarah tentang kesungguhan ulama Salaf dalam memanfaatkan waktunya ia akan merasa takjub sekaligus heran.

11. Belajar kepada Ahlul Bid’ah
Seorang penuntut ilmu tidak boleh belajar kepada Ahlul bid’ah karena ia (ahlul bid’ah) merasa ridha dengan sesuatu yang menyelisihi agama Allah, seolah-olah ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala belum menyempurnakan agama ini dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam belum sempurna dalam menyampaikan seluruh risalah.”

Tidak diragukan apabila seorang penuntut ilmu bermajelis dengan orang yang memiliki sifat di atas maka ia akan memperoleh kejelekan, dan tidak ada yang datang kepadanya, kecuali berbagai kerusakan. Karena, meskipun orang yang bermajelis dengannya tidak mengamalkan bid’ahnya, maka paling tidak ia mendapatkan syubhat (keraguan) darinya sehingga ia menjadi bingung dalam segala urusannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيْثَةً.

“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk hanyalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi ia memberikanmu minyak, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan aroma yang harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi ia membakar bajumu atau engkau mendapatkan bau yang tidak sedap.” [6]

Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) rahimahullaah berkata mengomentari hadits ini, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan bermajelis dengan orang-orang shalih, orang-orang yang memiliki kebaikan, akhlak mulia, wara’, ilmu, dan adab. Dan (di dalamnya juga terdapat) larangan bermajelis dengan pelaku kejahatan, ahlul bid’ah, orang-orang yang membicarakan aib orang lain, dan yang selainnya dari berbagai macam perbuatan tercela.” [7]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ.

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat adalah dipelajarinya ilmu dari al-ashaaghir.” [8]

Imam Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullaah ditanya tentang al-ashaaghir? Beliau menjawab, “Al-ashaaghir adalah ahlul bid’ah.” [9]

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan,

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْـرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِـبَـلِ أَصْحَابِ مُـحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ فَذَلِكَ حِيْنَ هَلَكُوْا.

“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para Shahabat Nabi shallalaahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama Ahlus Sunnah. Apabila mereka mengambil ilmu dari ahlul bid’ah, maka itulah saat kebinasaan mereka.”[10]

Yang dimaksud dengan al-akaabir adalah ulama Ahlus Sunnah yang memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat. Dan yang dimaksud dengan al-ashaaghir adalah ahlul bid'ah. [11]

Para ulama telah mengecam duduk-duduk bersama Ahlul Bid’ah, maka bagaimana dengan mengambil ilmu dari mereka??!!

Imam al-Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (wafat th. 110 H) rahimahumallaah mengatakan, “Janganlah kalian bermajelis dengan pengikut hawa nafsu (ahlul bid’ah), jangan berdebat dengan mereka, dan jangan mendengarkan perkataan mereka.” [12]

Adapun alasan dilarangnya mendengarkan ilmu dari ahlul bid’ah adalah agar namanya tidak terkenal, pengikutnya menjadi sedikit, dan selamat dari berbagai syubhatnya.[13]

Bersungguh-sungguhlah dalam menimba ilmu dari para ulama atau para ustadz yang memang telah dikenal keteguhannya dalam memegang Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.

Peringatan:
Pada zaman sekarang ini, tolok ukur manusia dalam menilai sesuatu sudah rusak. Mereka menganggap bahwa “orang alim/ulama” adalah setiap orang yang dapat memberikan nasehat yang dapat menyentuh hati atau memberikan ceramah dengan semangat berapi-api, atau khutbah Jum’at dengan retorika yang mengesankan. Mereka inilah yang dianggap sebagai ulama sehingga orang-orang awam belajar dengan mereka, bahkan meminta fatwa dari mereka.
Wallaahul Musta’aan.

Oleh karena itu, jauhilah kebiasaan masyarakat awam yang mengambil ilmu dari para pemberi nasihat dan khatib Jum’at yang mereka anggap sebagai orang alim karena hal itu berarti menyandarkan ilmu bukan kepada ahlinya. Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya hari Kiamat. Karena, tidak semua orang yang pandai dalam memberikan nasehat, ceramah, maupun khutbah Jum’at adalah orang alim. Ini bukan berarti kita tidak boleh mendengar nasihat dan khutbah mereka, namun maksudnya adalah tidak boleh mengambil (belajar) ilmu syar’i kepada mereka, dan tidak menempatkan mereka pada kedudukan ulama. Allah-lah yang memberikan taufiq.[14]

Imam Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) rahimahullaah mengatakan, 

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ، فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ.

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian?” [15]

Imam Malik bin Anas (wafat th. 179 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu tidak boleh dipelajari dari empat orang: (1) orang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun banyak meriwayatkan hadits, (2) ahlu bid’ah yang mengajak kepada hawa nafsunya, (3) orang yang berdusta saat berbicara dengan orang lain meskipun ia tidak berdusta dalam meriwayatkan hadits, dan (4) orang shalih ahli ibadah namun tidak memahami apa yang ia katakan.” [16]

Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullaah mengatakan, “Wahai para pelajar! Jadilah Salafi sejati (ikutilah jejak para ulama Salaf). Hati-hatilah jangan sampai para ahli bid’ah mencelakakanmu karena mereka banyak membuat jalan untuk menjegalmu. Mereka bungkus semua itu dengan ucapan yang manis seperti madu padahal ia adalah madu yang pahit dan kucuran air mata, indah kulit luarnya dengan tipuan dan khayalan belaka, mempertontonkan keluarbiasaan yang dianggap “karamah”, menjilati tangan serta mencium pundak?? Tidaklah semua itu melainkan bara buatan ahli bid’ah dan panasnya api fitnah yang ditanamkan dalam hatimu yang akan menjeratmu dalam lingkaran syaitannya. Demi Allah! Tidaklah orang yang buta bisa menuntun dan memberi petunjuk untuk memimpin orang-orang buta sepertinya.”[17]

12. Tergesa-gesa Ingin Memetik Buah Ilmu
Seorang penuntut ilmu tidak boleh tergesa-gesa dalam usahanya untuk memperoleh ilmu. Menuntut ilmu tidak cukup dilakukan satu atau dua tahun karena yang demikian menyalahi jalan Salafush Shalih. Menuntut ilmu agama tidak bisa melalui jalan kursus atau belajar dengan singkat. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja menerima wahyu selama 23 tahun.

Sebagian pelajar ada yang menyangka bahwa menuntut ilmu laksana santapan lezat dan minuman segar, yang cepat terlihat hasil dan manfaatnya sehingga ia beranggapan dalam hatinya bahwa setelah berlalu satu tahun -atau lebih bahkan kurang- dari umurnya yang ia habiskan untuk menuntut ilmu, maka ia akan menjadi seorang berilmu yang ahli. Ini adalah pendapat yang keliru, gambaran yang rusak, dan cita-cita yang rendah. Bahaya yang ditimbulkannya sangat besar dan kerusakannya sangat luas karena dapat mendorong pelakunya berbicara tentang agama Allah Ta’ala tanpa ilmu, menganggap dirinya hebat, dan akhirnya mencintai kesombongan dan merasa sudah alim, padahal ia belum layak untuk itu. [18] 

Orang yang memperhatikan keadaan para Salaf, maka ia akan merasa heran sekaligus takjub dengan kegigihan mereka dalam berusaha memperoleh ilmu secara terus-menerus. Mereka tidak merasa lemah, pantang menyerah, dan tidak pernah sombong. Semboyan mereka adalah ‘Menuntut ilmu dari pangkuan sang ibu sampai masuk liang lahat’. Semboyan ini bukanlah hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Yahya bin Abi Katsir (wafat tahun 132 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu tidak bisa diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan.” [19]

Imam Ibnul Madini (wafat th. 234 H) rahimahullaah mengatakan, “Dikatakan kepada Imam asy-Sya’bi, ‘Dari mana Anda peroleh semua ilmu ini?’ Beliau menjawab, ‘Dengan tidak bergantung pada manusia, menjelajahi berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, dan berpagi-pagi mencarinya seperti berpagi-paginya burung gagak.’”[20]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
_______
Footnote
[1]. Lihat ‘Awaa-iquth Thalab (hal. 23-24), karya ‘Abdus Salam bin Barjas Ali ‘Abdul Karim.
[2]. Iqtidhaa’ al-‘Ilmi al-‘Amal (no. 40). Perkataan yang serupa diri-wayatkan juga dari Ibnu Munkadir, Sufyan ats-Tsauri, dan Waki’ bin Jarrah. Lihat Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/707, no. 1274) dan al-Iqtidhaa’ (no. 41).
[3]. Tadzkiratul Huffaazh (III/157), karya al-Hafizh adz-Dzahabi, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[4]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1227, no. 2414).
[5]. Iqtidha al-‘Ilmi al-‘Amal (hal. 114, no. 201).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/408), al-Bukhari (no. 2101, 5534) dan Muslim (no. 2628), lafazh ini milik Muslim, dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Syarah Shahiih Muslim lin Nawawi (XVI/178).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (no. 52), Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (I/612, no. 1051 dan 1052), ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908), dari Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 695).
[9]. Lihat Syarah Ushuul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah (I/95, no. 102).
[10]. Atsar shahih: Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (no.764), ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 20446, 20483), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/617, no. 1060).
[11]. Ta'liq Syaikh Ahmad Farid atas kitab az-Zuhd karya Imam Ibnul Mubarak (hal. 425)
[12]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunannya (I/110). Lihat Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 528-536).
[13]. Dinukil dari ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hal. 87-88) dengan sedikit perubahan dan tambahan.
[14]. Dinukil dari ‘Awaaiquth Thalab (hal. 33-34) dengan sedikit perubahan.
[15]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahiihnya (I/14).
[16]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (VI/ 61).
[17]. Hilyah Thaalibil ‘Ilmi (hal. 42).
[18]. Lihat ‘Awaa-iquth Thalab (hal. 57) dengan sedikit perubahan.
[19]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 612 (175)) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/384, no. 553).
[20]. Tadzkiratul Huffaazh (I/64).